Tren Makanan yang Sedang Populer di Tahun Ini. Dunia kuliner terus berkembang seiring perubahan gaya hidup, teknologi, dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan serta keberlanjutan. Tahun ini, tren makanan tidak hanya dipengaruhi oleh rasa, tetapi juga oleh nilai-nilai seperti keberlanjutan, kesehatan mental, dan inovasi teknologi pangan. Dari restoran mewah hingga dapur rumahan, berbagai tren makanan sedang mencuri perhatian dan mengubah cara kita berinteraksi dengan makanan. Berikut adalah tren makanan yang sedang populer di tahun ini.
1. Makanan Berbasis Tumbuhan (Plant-Based) yang Lebih Realistis
Meski tren plant-based sudah muncul beberapa tahun lalu, tahun ini menghadirkan evolusi signifikan. Konsumen tidak lagi hanya mencari alternatif daging, tetapi menginginkan makanan berbasis tumbuhan yang benar-benar lezat, bergizi, dan menyerupai tekstur serta rasa aslinya—tanpa rasa “buatan”.
Inovasi terbaru datang dari perusahaan food tech yang menggunakan teknik fermentasi presisi dan protein mikroba untuk menciptakan daging nabati yang lebih alami. Selain itu, makanan plant-based kini tidak hanya terbatas pada burger atau sosis, tapi juga merambah ke produk susu (seperti susu kacang mete, oat, dan kacang hijau), keju vegan, hingga camilan ringan.
Yang menarik, tren ini juga didorong oleh generasi muda yang lebih sadar lingkungan. Menurut laporan dari GlobalData, lebih dari 40% konsumen di bawah usia 35 tahun secara aktif mengurangi konsumsi daging demi alasan lingkungan dan kesehatan.
2. Makanan Fungsional dan Adaptogenik
Makanan tidak lagi hanya untuk mengenyangkan—kini, makanan juga diharapkan memberikan manfaat tambahan bagi tubuh dan pikiran. Tren makanan fungsional (functional foods) semakin populer, terutama yang mengandung adaptogen, probiotik, prebiotik, dan antioksidan tinggi.
Adaptogen seperti ashwagandha, reishi mushroom, dan rhodiola kini hadir dalam bentuk minuman, cokelat, hingga smoothie bowl. Makanan ini dipercaya membantu tubuh mengelola stres, meningkatkan fokus, dan menyeimbangkan hormon.
Selain itu, camilan fungsional seperti granola dengan kolagen, keripik sayur yang diperkaya vitamin D, atau biskuit tinggi serat dan protein menjadi pilihan populer di kalangan pekerja kantoran dan pelaku gaya hidup aktif. Konsumen kini lebih kritis: mereka membaca label nutrisi dan memilih produk yang memberikan “nilai lebih” selain rasa.
3. Fermentasi sebagai Gaya Hidup Sehat
Fermentasi bukanlah hal baru, namun tahun ini mengalami kebangkitan besar berkat kesadaran akan kesehatan pencernaan dan mikrobioma usus. Kimchi, kombucha, kefir, miso, tempeh, dan acar fermentasi alami kini menjadi bahan wajib di dapur modern.
Yang membedakan tren fermentasi tahun ini adalah pendekatannya yang lebih personal dan artisanal. Banyak orang mulai membuat fermentasi sendiri di rumah—baik untuk alasan ekonomi, kesehatan, maupun eksplorasi rasa. Bahkan, restoran kelas atas mulai menyajikan menu dengan elemen fermentasi buatan sendiri sebagai nilai jual utama.
Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi makanan fermentasi secara rutin dapat meningkatkan sistem imun, mengurangi peradangan, dan bahkan berdampak positif pada kesehatan mental melalui sumbu usus-otak (gut-brain axis).
4. Kuliner Global yang Autentik dan Terjangkau
Globalisasi dan media sosial telah membuka akses masyarakat terhadap berbagai budaya kuliner dunia. Namun, tren tahun ini lebih menekankan pada keaslian dan pengalaman budaya, bukan sekadar “fusion” yang terlalu dipaksakan.
Makanan seperti birria taco dari Meksiko, dalgona coffee ala Korea, shakshuka dari Timur Tengah, hingga moqueca dari Brasil menjadi viral bukan hanya karena rasanya, tetapi juga karena cerita di baliknya. Konsumen ingin tahu asal-usul resep, teknik memasak tradisional, dan makna budaya dari setiap hidangan.
Selain itu, makanan internasional kini lebih mudah diakses berkat layanan pesan-antar dan toko bahan impor online. Bumbu-bumbu seperti gochujang, za’atar, yuzu kosho, dan berbagai jenis kecap asing kini menjadi stok wajib di dapur urban.
5. Sustainable Food: Makan dengan Tanggung Jawab Lingkungan
Kesadaran lingkungan semakin memengaruhi pilihan makanan. Tren “sustainable food” mencakup penggunaan bahan lokal, pengurangan limbah makanan (food waste), kemasan ramah lingkungan, hingga konsumsi bagian-bagian makanan yang biasanya dibuang (seperti daun lobak, kulit buah, atau tulang ikan untuk kaldu).
Restoran dan brand makanan kini berlomba-lomba menampilkan komitmen keberlanjutan mereka—mulai dari zero-waste kitchen hingga program daur ulang kemasan. Bahkan, konsep “ugly produce” (sayur dan buah tidak sempurna secara visual) kini dipasarkan sebagai pilihan etis dan ekonomis.
Di tingkat konsumen, tren meal prep dan batch cooking juga meningkat karena membantu mengurangi pemborosan makanan sekaligus menghemat waktu dan biaya.
6. Teknologi Pangan dan Personalisasi Nutrisi
Kemajuan teknologi membawa tren makanan ke level yang lebih personal. Aplikasi kesehatan dan AI kini bisa menganalisis DNA, mikrobioma usus, atau pola tidur seseorang untuk merekomendasikan diet yang disesuaikan secara individual.
Perusahaan seperti Zoe dan Nutrigenomix menawarkan tes nutrisi berbasis data biologis, sementara startup makanan menawarkan paket makanan harian yang disesuaikan dengan kebutuhan metabolisme pengguna. Ini bukan lagi soal “diet umum”, tapi “diet untuk dirimu”.
Selain itu, teknologi seperti 3D food printing dan kultur daging (cultured meat) mulai masuk ke pasar komersial, meski masih dalam skala terbatas. Namun, potensinya besar untuk mengubah industri pangan di masa depan.
7. Camilan Sehat yang Tidak Membosankan
Camilan dulu identik dengan keripik, permen, atau gorengan. Kini, camilan sehat justru menjadi tren utama—dengan rasa yang tidak kalah menggugah selera. Konsumen menginginkan camilan yang rendah gula, tinggi protein, bebas pengawet, namun tetap enak dan praktis.
Contohnya: keripik rumput laut dengan bumbu wasabi, bola energi dari kurma dan selai kacang, popcorn dengan minyak kelapa dan garam laut, atau es krim dari susu almond dengan pemanis alami. Brand lokal juga mulai bermunculan dengan inovasi camilan berbasis bahan lokal seperti ubi ungu, pisang kepok, atau kelapa.
Yang menarik, camilan kini juga menjadi sarana ekspresi diri—baik melalui kemasan estetik maupun klaim nilai (misalnya “dibuat oleh UMKM perempuan” atau “100% organik”).
8. Minuman Fungsional dan Non-Alkohol
Tren “sober curious”—gaya hidup yang mempertanyakan konsumsi alkohol—semakin meluas, terutama di kalangan milenial dan Gen Z. Akibatnya, pasar minuman non-alkohol premium tumbuh pesat.
Minuman seperti mocktail herbal, teh adaptogenik, air infus dengan elektrolit alami, dan bahkan “non-alc wine” (anggur tanpa alkohol) kini tersedia di kafe dan supermarket. Minuman ini tidak hanya menawarkan rasa, tapi juga manfaat seperti relaksasi, hidrasi ekstra, atau peningkatan energi.
Selain itu, kopi masih tetap populer, namun dengan sentuhan baru: cold brew dengan ekstrak jamur, latte dengan kurkuma, atau espresso dengan minyak MCT menjadi favorit di kalangan pekerja kreatif.
9. Kembali ke Dapur: Home Cooking Renaissance
Pandemi memang telah berlalu, tapi kebiasaan memasak di rumah tetap bertahan. Banyak orang kini menikmati proses memasak sebagai bentuk self-care dan ekspresi kreativitas. Media sosial dipenuhi konten “cooking ASMR”, resep 15 menit, atau tantangan memasak mingguan.
Platform seperti TikTok dan Instagram memainkan peran besar dalam menyebarkan resep viral—seperti baked feta pasta, dalgona coffee, atau cloud bread—yang kemudian diadaptasi secara global. Bahkan, bahan-bahan yang tadinya jarang dikenal (seperti nutritional yeast atau black garlic) kini mudah ditemukan karena permintaan meningkat.
10. Makanan yang Menyenangkan (Joyful Eating)
Di tengah tekanan hidup modern, makanan juga menjadi sarana untuk mencari kebahagiaan. Tren “joyful eating” menekankan pada kenikmatan, nostalgia, dan kepuasan emosional—bukan hanya aspek gizi.
Ini terlihat dari kembalinya camilan masa kecil dalam kemasan modern, dessert yang Instagrammable, atau kolaborasi antara brand makanan dan karakter pop culture (seperti Oreo x Pokémon atau Indomie x BTS). Makanan tidak lagi harus “sempurna” secara nutrisi, selama bisa membawa senyum di wajah.
Namun, joyful eating bukan berarti kembali ke pola makan tidak sehat. Justru, tren ini mendorong keseimbangan: menikmati makanan favorit tanpa rasa bersalah, sambil tetap memperhatikan kesehatan jangka panjang.
Penutup: Makanan sebagai Cermin Perubahan Zaman
Tren makanan tahun ini mencerminkan perubahan nilai masyarakat global: dari keinginan akan kesehatan holistik, tanggung jawab lingkungan, hingga kebutuhan akan kebahagiaan sederhana. Tidak ada satu tren yang mendominasi—sebaliknya, konsumen kini lebih bebas memilih gaya makan yang sesuai dengan identitas, kebutuhan, dan nilai pribadi mereka.
